Megatruh Banyu Mili, penerima Hibah Seni PSBK 2021 akan menampilkan karya terbarunya yang berjudul “Ini Bapak Budi” pada presentasi Jagongan Wagen edisi Juni 2021. Dalam karya ini ia berbicara tentang penyeragaman pola pendidikan yang mengakibatkan terhambatnya pengembangan potensi dan daya kreatif seseorang. Pada mulanya ia berpikir bahwa kasus ini hanya terjadi di sekolah formal, namun dalam karya ini ia mencoba mengajukan pertanyaan tentang “Seberapa besar peran orang tua yang telah mendidik sedari bayi dalam kasus penyeragaman?”.
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) kembali mempersembahkan Jagongan Wagen (JW) di bulan Juni tahun 2021. Karya Ini Bapak Budi ini merupakan karya kedua dalam platform Jagongan Wagen di tahun ini. Proses fasilitasi ruang kreatif keproduksian alih media dan sajian karya telah terlaksana sejak Mei di kompleks art center PSBK dengan menyertakan protokol kesehatan. PSBK akan menampilkan premiere karya baru ini di website jagonganwagen.psbk.or.id yang dapat diakses mulai pada Jumat, 25 Juni 2021 mulai pukul 19:30 WIB. Penayangan Jagongan Wagen juga disertai dengan adanya Closed Caption bagi audiens dengan difabilitas.
Judul “Ini Bapak Budi” diambil dari metode pembelajaran tingkat Sekolah Dasar pada kurun waktu 1980 – 2000 an dalam buku “Ini Budi” yang ditulis oleh Siti Rahmani Rauf. Nama Budi yang tadinya hanya terdapat di metode pembelajaran membaca pada pelajaran Bahasa Indonesia kemudian diterapkan pada PPKN, matematika bercerita, ilmu pengetahuan sosial, dan pelajaran agama untuk menyampaikan pesan materi. Nama Budi begitu melekat dalam ingatan siswa Sekolah Dasar era 1980 – 2000 an dikarenakan tokoh Budi sangat menonjol dalam metode ini, sehingga terkesan semua tokoh bernama Budi.
Kasus munculnya kesan nama yang sama seperti nama budi ternyata juga terjadi pada pengajaran pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Kesan tersebut muncul karena bangku sekolah seringkali mengasumsikan semua siswa harus memiliki capaian pengetahuan bahkan kesuksesan yang sama. Sehingga seringkali tidak mengindahkan potensi dan daya kreatif siswa. Selain itu, pengajar juga tidak memperhatikan tentang sifat tentatif dari pengetahuan, sifat selalu berkembang dari pengetahuan dan bagaimana menghargai berbagai alternatif penjelasan mengenai suatu hal (Winataputra, 2005:16).
Kasus ini luput dari tujuan penting bagi para pengajar. Tujuan pengajar adalah membimbing dalam proses mengeksplorasi dunia agar bermanfaat, memahami dunia sosial, mengembangkan rasa percaya diri dan selalu meningkatkan kualitas diri (Winataputra, 2005:1). Kasus ini kemudian bisa disebut sebagai penyeragaman, dikarenakan efek yang kemudian timbul adalah para pelajar menjadi seragam sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pengajar dan menghambat proses pembentukan identitas. Pada mulanya saya berpikir bahwa kasus ini hanya terjadi di sekolah formal. Pertanyaan yang muncul adalah “Seberapa besar peran orang tua yang telah mendidik sedari bayi dalam kasus penyeragaman?”.
Dalam pembuatan karya ini, Megatruh mengajak Nia Agustina sebagai Dramaturg, Nurfarida Saptina Sari sebagai tim produksi), Fafan Isfandiar sebagai penata musik & pemain, Gendon Tohyora sebagai pemain, dan Cakrabirawa Putra sebagai pemain
Winataputra, Udin S. 2005. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jakarta: Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan dan
Pengembangan Aktivitas Instruksional Universitas Terbuka