Habiburrachman, Penerima Hibah Seni PSBK 2019 akan tampil dalam Jagongan Wagen edisi terakhir di tahun ini. Karya yang diberi tajuk “Detik Kedua Puluh Enam Minggu Dini Hari” akan dipentaskan pada Sabtu, 14 Desember 2019 di PSBK. Karya ini adalah upaya Habib untuk melihat Jogja melalui klitih.
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) bersama Bakti Budaya Djarum Foundation meneruskan investasi panjang dalam dukungan fasilitasi ruang presentasi karya seniman muda melalui program Jagongan Wagen. Pada edisi terakhir Jagongan Wagen di tahun ini, PSBK menghadirkan Habiburrachman yang merupakan seniman penerima Hibah Seni PSBK. Ia mendapatkan fasilitasi akses studio penciptaan, kuratorial dan produksi pementasan berlangsung di kompleks art center PSBK sejak akhir November 2019.
Habiburrachman lahir di Sumenep. Ia berkegiatan di seni pertunjukan teater sejak 2013 ketika bergabung dengan Teater ESKA Yogyakarta. Beberapa kali terlibat menjadi aktor, penulis naskah dan menyutradarai. Karya terbarunya pada 2018 antara lain Pelajaran Bab Dua, Penghujung Kau dan Aku, dan Kelas Tambahan. Sekarang sedang menyelesaikan tugas akhirnya di jurusan Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Detik Kedua Puluh Enam Minggu Dini Hari hadir sebagai upaya Habiburrachman untuk melihat Jogja melalui klitih. Melalui pertunjukan teaternya kali ini, Habib akan berbagi sudut pandang lebih luas dengan mengangkat sejarah pembentukan subjektivitas pelaku dalam relasinya dengan konteks sosio-kultural yang khas. Bahwa klitih tidak lahir dari ruang buta, tetapi dibentuk oleh sistem pendidikan, sistem pranata sosial, konsep moralitas, maskulinitas, dan premanisme yang menjamur. Karya ini juga ingin mengajak berpartisipasi untuk tidak segera menempelkan stigma negatif dalam melihat klitih dengan tidak melepaskannya dari kondisi partikular yang menentukannya.
Jogja adalah salah satu kota dengan beragam dinamika sosialnya yang memungkinkan untuk dibaca berulang demi keberlangsungannya: apakah ia akan bertahan atau binasa. Kemunculan kota beserta dinamikanya adalah bagian tak terpisahkan dari relasi sosial warga kota itu sendiri. Sebuah kota bisa dikatakan maju, berkembang, atau bahkan terpinggirkan, tidak akan terlepas dari aktivitas warganya. Namun kesadaran warga menggali pengetahuan tentang ke-berkota-annya tidak mudah untuk dibangun. Seringkali, masyarakat berhenti pada pemahaman kota sebagai tempat geografis semata. Sedang segala persolannnya dianggap selesai dengan para birokrat dan teknokrat. Lantas, apakah benar situasi sosial kota yang terpresentasi pada perilaku warganya akan selesai dengan pendekatan teknokratisme? Pertunjukan ini nantinya akan mencoba mengelaborasikan problematika ini.
Dalam membangun narasi dalam cerita ini Habib melakukan studi literatur dan obvervasi melalui beberapa wawancara. Kemudian ia menyusun data yang ia peroleh menjadi satu cerita untuk bisa ia sampaikan kepada penonton. Ia mengajak dua aktor yaitu Ario Mahardika dan Faried Nor Siregar a.k.a Askal untuk menghidupkan narasi ke panggung pertunjukan. Selain itu, Ia juga menggandeng Febrian Adinata Hasibuan untuk membantunya menyusun tangga dramatug agar alur cerita terjaga dengan baik. Terakhir, untuk membangun imajinasi melalui bunyi, Regina Gandes diajak untuk mengisi ilustrasi musik dan bebunyian lainnya. Dengan demikian pertunjukan ini akan membukakan pandangan kita terkait dinamika sosial yang terjadi di kota Jogja melalui klitih. Jadi, kami mengajak masyarakat luas untuk hadir dan menyaksikan Jagongan Wagen edisi pamungkas di tahun ini sebagai sarana kita melihat lebih jauh.