SENI DAN EMPATI RUANG YANG LAPANG, WAKTU YANG SEMPIT

Catatan tatapan proses oleh Latief S. Nugraha

 

Pada musim hujan di penghujung tahun 2022, enam seniman muda dari beragam disiplin seni dan dari berbagai wilayah Indonesia dipertemukan dalam sebuah proyek residensi pendek bertajuk Empathy Spaces. Proyek tersebut didanai oleh program International Collaboration Grants – British Council, sebuah kolaborasi seni dalam jaringan internasional antara Indonesia (ID) melalui Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) dengan Inggris (UK) melalui The Paper Birds (PBs). British Council selaku organisasi pendidikan dan kebudayaan berjejaring hingga ranah global antara UK dengan lebih dari 100 negara di seluruh dunia, memadukan  pendidikan dan kebudayaan secara khas dan kreatif dengan sasaran generasi muda dalam memperoleh keterampilan, kepercayaan diri, dan koneksi melalui kemitraan. Yang berjarak dan berlainan pun saling terpaut dengan sesuatu yang rutin untuk menyusun tahapan-tahapan proses penciptaan karya seni dengan menggenggam satu kata kunci: empati. 

Selama tiga pekan, terhitung sejak 21 November hingga 10 Desember 2022, Enji Sekar seorang performance art di bidang tari dan teater dari Yogyakarta, Jenar Kidjing seorang musisi dan komposer musik teater dari Yogyakarta, Mekratingrum Hapsari seorang penari dari Jawa Tengah, Otniel Tasman seorang penari dan koreografer dari Jawa Tengah, Syska La Veggie seorang visual artist dari Jawa Timur, dan Theodora Melsasail seorang penari dari Maluku mengikuti serangkaian lokakarya, proses kreatif, hingga presentasi karya kolaborasinya. Sebenarnya ada satu seniman lagi, Ferry Alberto Lesar, seorang penari dan koreografer dari Jakarta. Sayang, ia batal mengikuti residensi ini. 

Proyek kerja sama internasional ini sebenarnya hanya berlangsung dalam dua pekan yang dikelola dan dikerjakan secara bersama-sama antara PSBK dan PBs. Para seniman muda Inggris yang dinaungi PBs baru akan memulai residensi pada 28 November 2022. Beruntung, pelaksanaan residensi di Indonesia berlangsung tiga pekan. Dalam waktu yang pendek itu, para seniman muda kedua negara diharapkan dapat memahami empati, mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan mengeksplorasi sesuai dengan kemampuannya untuk menciptakan karya baru yang kolaboratif. 

Bagaimana empati ditatap? Apa yang ditatap dari empati? Mengapa perlu tatapan atas empati? Siapa yang menatap dan ditatap empati? Kapan tatapan atas empati itu terjadi? Tatapan pada empati terjadi di mana? Pertanyaan-pertanyaan itu ada jawabannya. Mari ikuti prosesnya!

 

SEBUAH KERJA KOLABORASI

Sore itu, Senin (21/11), dengan langkah tergesa, Otniel Tasman dan Mekratingrum Hapsari berjalan menuju Gedung Layang-Layang PSBK yang bernaung mendung. Keduanya datang terlambat dari jadwal karena macet di ruas-ruas Jalan Solo yang sedang dalam perbaikan. Sementara itu, Jenar Kidjing, Syska La Veggie, Theodora Melsasail, Enji Sekar, dan panitia tengah berbincang-bincang sembari menanti keduanya. Setelah swab test mandiri di PSBK, mereka berdua segera bergabung dengan forum dalam sesi perkenalan dan orientasi program. 

Sembari menikmati welcome drink, proyek Empathy Spaces dimulai. Jeannie Park selaku Direktur Eksekutif PSBK menyambut para seniman dengan hangat dan selalu hangat. Masing-masing kemudian saling memperkenalkan diri, meskipun ada di antaranya yang sudah saling kenal, bahkan kerap bekerja sama, namun ada yang memang baru bertemu sore itu.  Jeannie Park kemudian menyampaikan latar belakang dan menjelaskan seluk-beluk proyek Empathy Spaces tahun 2022 kepada para seniman. Bahwa kesempatan bagi seniman muda Indonesia untuk mengikuti residensi ini merupakan kerja sama kedua antara PSBK dengan PBs. Pada tahun 2021, PSBK dipertemukan dengan PBs melalui kerja sama pertamanya dalam proyek The School of Hope

Misi kedua dalam Empathy Spaces dimaksudkan untuk mewujudkan kesenian sebagai sumber pembelajaran yang penting bagi masyarakat melalui kolaborasi antarseniman sebagai komunitas baru untuk memperkuat pengaruh, meningkatkan keterampilan dan pemahaman, serta mendorong terbentuknya strategi kreatif ke arah yang baru. Kolaborasi inovatif ini berlangsung secara hibrida antara PSBK dari Indonesia dan PBs dari Inggris. Sebuah karya eksperimen yang diproduksi dengan cara-cara baru oleh seniman lintas bidang yang berjejaring dengan narasumber profesional dipertemukan dengan penonton melalui ruang fisik dan virtual.

Setelah paparan tentang proyek Empathy Spaces, Ruri Septi Hariana, Staf Komunikasi dan Kemitraan PSBK, mendekatkan profil kepenontonan program kerja PSBK kepada para seniman. Kemudian, Aga Yoga Perkasa, Staf Fasilitas/Sarana-Prasarana PSBK, mengajak para seniman untuk menyusuri lingkungan PSBK yang akan jadi rumah mereka selama tiga pekan residensi. Setelah rangkaian site tour usai, peserta program segera kembali ke Gedung Layang-Layang. Sambil beramah tamah, Istifadah Nur Rahma selaku Staf Program Seni PSBK menyampaikan proyeksi kolaborasi dan metode pendekatan penciptaan karya dalam program program Empathy Spaces yang akan dijalankan para seniman serta mengisahkan kerja sama dengan The Paper Birds dengan dukungan dari British Council yang sudah dilakukan sebelumnya dalam proyek The School of Hope pada tahun 2021. Mengenai proyek tersebut, para seniman kemudian diputarkan film dokumenter The School of Hope yang berisi serba-serbi pelaksanaan proyek yang terselenggara pada 14 sampai 19 Juni 2021.  

Tayangan The School of Hope yang merupakan proyek multi-bentuk digital dengan sasaran pelaku kreatif berusia 13 sampai 25 dari berbagai kalangan, termasuk difabel, santri, dan LGBT untuk saling merasakan satu sama lain lewat seni dan menjadi karya seni, menjadi jembatan penyeberangan di depan gerbang sebelum enam seniman peserta Residensi Empathy Spaces memulai proses. Para seniman kemudian dibawa masuk untuk menatap, menyadari, dan mengatasi keterasingan yang dialami banyak orang, terutama karena dan selama pandemi. Sebelum berkarya bersama, para seniman diberi bekal pemahaman bahwa “empati” menjadi titik tolak kesadaran akan adanya “harapan” untuk “sama” dan “setara” sehingga tercipta komunitas, masyarakat, dan ruang hidup yang aman. 

Seusai sesi perkenalan dan orientasi program, para seniman peserta residensi dipertemukan dengan The Paper Birds untuk mengikuti master class secara hibrida. Jemma McDonnell, Co-Director (Artistic) The Paper Birds, menjadi juru bicara mengenai latar proyek Empathy Spaces yang akan dikerjakan oleh seniman muda Inggris dan Indonesia.

Jemma meminta masing-masing seniman bercerita tentang praktik kolaborasi yang pernah dilakukan selama berkesenian. Dalam kesempatan itu, Otniel selaku penari yang kerap berkolaborasi dengan seniman lintas bidang merasa perlu mempertanyakan kembali praktik empati dalam kerja seni yang telah dilakukan, terutama pada kolektif yang dibentuknya. Theo sebelumnya telah melakukan kerja kolaborasi lintas disiplin seni selama satu tahun di PSBK, di luar kulturnya, dan kemudian membawa pengalamannya itu pulang ke kampung halamannya, Ambon, dan mengajarkannya pada anak-anak di komunitas yang diinisiasinya bernama Ruma Belajar. Sementara itu, Kidjing selaku musisi memiliki kesempatan yang luas dan acak dalam berkolaborasi. Ia bahkan tidak hanya berkolaborasi dengan sesama seniman, namun juga dengan masyarakat umum. Baginya, seni adalah alat! Capaiannya berupa pengalaman, bukan kesempurnaan seni. Hal senada disampaikan Enji. Selama berkarir, ia selalu berkarya secara kolaboratif dengan seniman lintas bidang. Dalam membuat karya seni baginya tak ada ide yang buruk, salah, dan benar. Jika ada sesuatu yang dianggap tidak pas, justru bisa jadi pintu terbuka bagi adanya ruang dialog. Sedangkan Mike merasa kalau proses berkesenian tidak serta-merta terjadi ketika proses berlangsung. Obrolan ringan di keseharian terkadang justru menerbitkan gagasan-gagasan karya. Dialog pasca-karya pun perlu didengar sebagai timbangan. Baginya, mendengar dan bertanya adalah bentuk kolaborasi paling nyata untuk mengenal cara pikir masing-masing orang. Pengalaman lain disampaikan Syska. Selaku pelukis, ia merasa kalau selama ini tergolong sebagai seniman yang egois dan rebel. Ia banyak melakukan kerja kolaborasi bersama seniman perempuan di Jawa Timur. Trauma yang dialaminya jadi modal untuk menghimpun gerakan. Ia lakukan itu karena kesadaran kolaborasi di Jawa Timur tidak sehat. Untuk itulah ia coba keluar dari Jawa Timur dan mencoba untuk berkolaborasi dan menjalin jejaring baru. 

Setelah mendengar beragam cerita dari para seniman, Jemma kemudian memberi pekerjaan rumah. Masing-masing seniman diminta untuk menulis surat berupa percik permenungan kerja kesenimanannya yang ditujukan kepada dirinya sendiri di masa depan. Surat itu penting untuk membangkitkan kesadaran dan memperkuat landasan masing-masing seniman dalam menempuh jalan kesenimanannya. Kesenian, sebuah jalan sunyi yang entah mengapa selalu ada yang memilih dan melewatinya, 

Usai Jemma menutup forum Zoom Meeting, Jeannie Park menegaskan kembali misi proyek Empathy Spaces. Harapannya, seniman bisa mengurai masalah-masalah berdasar isu empati dan kaitannya dengan yang terjadi di era digital, terutama sebagai dampak pandemi. Ia juga menjelaskan kenapa sebagian besar seniman yang lolos seleksi adalah penari? Karena karya yang cukup inklusif bagi beragam lapis penonton adalah karya dengan bahasa tutur yang lain, yakni tidak menggunakan bahasa lisan melainkan bahasa tubuh. 

Untuk itu para seniman Indonesia akan dipertemukan dengan para mentor dan para pakar empati berpengalaman yang mengisi sesi workshop dan sesi berbagi selama proyek residensi berlangsung. Mereka adalah Melati Suryodarmo, Joned Suryatmoko, Aziz Faiz, Broto Wijayanto, dan Charyna Ayu Rizkyanti dari Indonesia. Mereka juga wajib mengikuti master class bersama Enni-Kukka Tuomala seorang seniman empati dan desainer dari Inggris.

Pertemuan hari pertama yang mengesankan dan bergairah itu ditutup dengan makan malam bersama Melati Suryodarmo, selaku mentor, di Waroeng Klangenan, Patangpuluhan, Yogyakarta. Malam itu ―meminjam baris puisi Chairil Anwar, gerimis mempercepat kelam. 

 

PERADABAN LAHIR DI MEJA MAKAN

Matahari menerpa pagi yang terhampar di atas tilas Alas Mentaok, yang kini bernama Kotagede, yang oleh sebagian orang masih disebut Sargede. Sesuai arahan, Kidjing, Otniel, Theo, Syska, dan Mike sudah berkumpul di taman parkir Masjid Gede Mataram, Kotagede pada pukul 07.30 WIB. Pagi itu, Selasa (22/11), Melati Suryodarmo mengajak para seniman peserta residensi untuk menelusuri Pasar Legi Kotagede. Sayang, Enji tidak bisa ikut dalam sesi workshop provokasi artistik kerja lintas media di pasar tradisional tersebut. 

Sembari menunggu kedatangan Melati Suryodarmo, para seniman sarapan di angkringan depan gerbang kompleks sisa kejayaan Kerajaan Mataram-Islam itu. Usai sarapan, setelah menerima pesan di grup WhatsApp “Seniman Empathy Spaces” bahwa Melati Suryodarmo sudah sampai di Pasar Legi Kotagede bersama Istifadah, para seniman pun beranjak dan berjalan kaki ke arah utara, melewati jalan yang dahulu dibuka oleh para pendiri Kesultanan Mataram pada pertengahan abad ke-16. Satu pengalaman menarik kiranya ketika mereka diajak ke tempat bersejarah di kota tua ini, sebab mereka ke Yogyakarta bukan sebagai turis yang sedang pelesir, melainkan sebagai seniman yang tengah residensi. Di sana para seniman dapat menatap Yogya yang lain.

Para seniman berdiri melingkar di sisi Babon ANIEM Pasar Kotagede mendengar instruksi dari Melati Suryodarmo. Selaku mentor, ia memberi tugas kepada tiap-tiap seniman untuk menangkap hal-hal menarik yang dijumpai di dalam pasar menggunakan gawai masing-masing dengan tiga sudut pandang, yakni bagian bawah, bagian tengah, dan bagian atas. 

Matahari semakin terik ketika para seniman berpencar menyusuri pasar. Mereka ambil gambar, video, dan audio hal-hal yang menarik perhatian. Mereka keliling pada hampir seluruh sisi, depan dan belakang, luar dan dalam. Ada yang berinteraksi dengan para pedagang, berbelanja, atau sekadar berbagi senyum. Para pedagang sadar dan agaknya sudah terbiasa berhadapan dengan kamera gawai yang menjadikan mereka objek fotografi. 

Setelah sekitar 30 menit berkeliling pasar, para seniman berkumpul kembali. Melati Suryodarmo mengajak diskusi sambil makan pada sebuah warung soto di lambung pasar. Satu hal yang tak lazim: sebuah diskusi seni, budaya, bahkan merambah pembahasannya hingga identitas kebangsaan dan politik, berlangsung di antara riuh-rendah tengah pasar tradisional. Gokil

Melati Suryodarmo, sebagai seorang performance art yang sudah sejak tahun 1994 berkecimpung di dunia seni rupa dan berpengalaman selama 20 tahun  menampilkan karya performance-nya di berbagai festival internasional dan pameran-pameran di berbagai negara menyampaikan alasan kenapa para seniman diminta merekam hal-hal yang ada di pasar dengan berbagai sudut pandang. Dari situ kejelian para seniman menatap fenomena di hadapannya dapat terukur. Di dalam pasar tradisional akan banyak dijumpai hal-hal yang (dianggap) tidak ideal dalam tatapan. 

“Jika proses ini berhasil, maka akan jadi karya seni yang banal!” ujar Melati Suryodarmo. “Setiap sesuatu memiliki posisi dan bisa diposisikan dengan pas,” imbuhnya.

Setelah menunggu, akhirnya satu demi satu mangkuk-mangkuk soto tersaji. Dengan suasana yang santai sembari menikmati soto, diskusi terus berlangsung. Melati Suryodarmo mengajak para seniman berhadapan langsung dengan peristiwa dan suasana yang bertabrakan di lingkungan terdekatnya. Ia mengajak para seniman pelesir intelektualitas, mulai dari bahasa yang menjadi unsur penting dalam praktik kuasa di ruang bernama pasar; sejarah politik di Indonesia lahir sebagai efek kolonialisme; bahwa Jawa mengalami efek kolonialisme yang paling buruk sehingga upacara ritual bergeser fungsinya jadi pertunjukan; bahwa bentuk perlawanan muncul d(ar)i masyarakat yang terdesak dan menghasilkan karya seni simbol perang; hingga kesadaran bahwa kekuasaan muncul atas dukungan masyarakatnya. 

Pengalaman Melati Suryodarmo studi konsep ruang dan performance art di Hochschule Fuer Bildende Kuenste Braunschweig, Jerman, membuatnya paham bagaimana liyan menatap karya seni Indonesia. Bahwa seni itu tidak perlu mbentoyong (keberatan beban) mengintelektualisasikan realitas, tapi cukup menerjemahkan realitas masing-masing jadi realitas bersama. Tantangannya; bagaimana mengelaborasi potensi dan bahasa masing-masing sehingga sampai pada penonton? Upaya apa yang perlu dikerjakan supaya bahasa dapat menjadi jembatan tanpa memverbalkan konteks?

Masih sambil menikmati soto, Melati Suryodarmo menyatakan, “untuk menaklukkan musuh, kuasailah bahasanya!” Namun, sejurus kemudian ia bertanya, “lantas, apakah bahasa tubuh yang universal mampu melakukannya?”

Pencanggihan teks bisa melampaui batasan ruang pemikiran. Teks hadir dengan lebih puitis, tak seperti berita koran. Tapi bagaimana jika teks dihilangkan? Bagaimana tubuh reality berfungsi ketika teks dihilangkan? Apa yang bisa dibahasakan melalui tubuh? Apa yang bisa dibahasakan melalui pengganti tubuh? Bagaimana seni dapat menghadirkan realitas dan mencapai realitas penontonnya? Hilangnya teks menjadi peluang bagi “tubuh lain” masuk ke “tubuh aktor”. Pertemuan itu merupakan perwujudan dari “proses menjadi” (process of becoming). Hasilnya adalah karya seni yang berkelanjutan. 

Yang disampaikan oleh Melati Suryodarmo itu tentu saja berkaitan erat dengan tema “empati” yang akan diolah oleh para seniman. Di dalam workshop provokasi artistik kerja lintas media itu, secara implisit ia bagi pengalaman berkaryanya. Para seniman peserta residensi diajak memikirkan ulang bahwa tubuh manusia memuat memori lingkungannya yang terus tumbuh, terus mencari, hingga menemukan bentuk struktur yang menjadi laku serta gagasan yang senantiasa baru mengenai manusia dan kemanusaan. Dari situ akan dimengerti kalau sesungguhnya empati dapat bekerja di mana saja untuk menatap kehidupan yang chaos di keseharian. Hal tersebut sejalan dengan latar belakang penciptaan karya-karya Melati Suryodarmo yang banyak menggunakan pendekatan bahasa tanpa kata-kata. Karyanya adalah bentuk-bentuk yang mewakili pemikiran berbasis riset dan dihadirkan dalam ruang dan waktu tertentu. 

Melati Suryodarmo juga mengingatkan kalau proyek Empathy Spaces ini terjalin secara internasional antara Inggris dengan Indonesia. Ia menyampaikan kalau kecenderungan estetika bangsa Barat mengedepankan teks, sementara estetika bangsa Indonesia mengedepankan rasa. Oleh karenanya perlu dicermati apa kira-kira tujuan para seniman Inggris mengangkat isu empati dan kenapa Indonesia yang dipilih untuk menjalin kerja sama ini?  

Begitu asyik para seniman berdiskusi dengan Melati Suryodarmo hingga tak terasa soto di meja telah tandas. Dengan cepat waktu menunjuk angka 11.00 WIB. Satu pengalaman dan suasana yang ganjil baru saja berakhir. Apakah ini yang dimaksud oleh sebuah adagium, peradaban lahir di meja makan? Bisa jadi.

Para seniman kemudian bergegas kembali ke PSBK. Matahari siang itu sedang terik-teriknya. Ketika mereka sampai, azan zuhur berkumandang dari seberang Sungai Koteng di sisi selatan kompleks PSBK. Sementara itu, di Gedung Layang-Layang, Enji Sekar sudah menunggu.

Workshop bersama Melati Suryodarmo pun dilanjutkan mulai pukul 14.00 WIB. Para seniman pun berbagi pengalaman dan kesannya selama berkunjung ke Pasar Legi Kotagede. Mereka juga berdiskusi tentang proses berkesenian masing-masing. Diskusi meluas pada realitas di sekitar kehidupan seniman yang penting untuk diperhatikan dengan saksama. Dengan kata lain, di dalam berkarya seyogianya para seniman tidak hanya berhenti pada diri sendiri tetapi juga perlu mempertimbangkan narasi-narasi yang tumbuh di sekitarnya.

Melati Suryodarmo kemudian mengulas gambar, video, dan audio hasil tangkapan para seniman di Pasar Legi Kotagede. Hasil bidikan para seniman yang beragam menunjukkan karakter pribadi masing-masing. Menurutnya, momen-momen yang diabadikan ketika berposisi sebagai seniman merupakan sebuah upaya untuk melatih sensitivitas sang seniman ketika berhubungan dengan lingkungan sekitar. Ia menjelaskan kalau realitas yang dijumpai di pasar dapat dimaknai lagi sehingga lahir makna baru dalam karya seni yang dihasilkan. Praktik dan penjabaran dari Melati Suryodarmo menjadi bekal berharga bagi para seniman dalam berproses kreatif dan menghasilkan karya meski hanya dalam waktu tiga pekan. Kisah, pertanyaan, wacana, dan wawasan dari Melati Suryodarmo semestinya mulai “menghantui” pikiran dan perasaan para seniman. 

Pertemuan dengan Melati Suryodarmo pada hari kedua Residensi Empathy Spaces itu pun selesai pada pukul 16.00 WIB dan ditutup dengan keceriaan foto bersama di halaman Gedung Layang-Layang. Para seniman kemudian kembali ke pondokan, rumah Alm. Djaduk Ferianto, yang berada tepat di seberang Pendapa Nyi Roro Kidul. Tinggal bersama dalam waktu tiga pekan tentu akan semakin mengeratkan hubungan antarseniman dalam berproses kreatif selama residensi berlangsung.

Sementara itu, di google drive sebuah logbook diskusi proses kreatif dikirim oleh Enji Sekar. Log book itu berisi ancangan proses untuk berdiskusi dan mencari bentuk pertunjukan berdasar dua kata kunci: empati dan digital. Di situ juga tertulis metode berkarya yang akan dikerjakan, mulai dari mencari benang merah; membuat etalase wujud berupa objek, gerak, narasi, dan bunyi; dan diskusi proses tumbuh. Dari logbook juga dapat diketahui bahwa pada hari kedua itu, para seniman juga telah memiliki tabungan ide bentuk yang memungkinkan untuk dieksplorasi. 

 

KERJA SENI, ANCANGAN EMPATI, DAN SANG LIYAN

“Kesenian tidak dapat dipisahkan dengan empati”, kata Faiz Aziz, dosen muda UIN Sunan Kalijaga yang juga seorang pengkaji empati di dunia sosial, saat membuka presentasinya, Rabu (23/11). Pernyataan itu terdengar singkat dan sederhana, namun sesungguhnya bersayap. Seakan ada pertanyaan yang menyusul meski tidak terkatakan. Kemudian ia bertanya, “lalu, bagaimana empati dapat termanifestasi dalam kehidupan berkesenian?”

Siang itu cuaca sedikit mendung, suasana jadi nglangut. Beruntung, sesi berbagi dengan tema “Manifestasi Empati dalam Kehidupan Sosio-Kultural Kita” bersama Faiz Aziz berhasil mencairkan kebekuan itu. Sesi yang berlangsung sejak pukul 10.30 WIB sampai pukul 12.00 WIB di Gedung Layang-Layang terasa asyik, gayeng, dan nggak spaneng. Faiz Aziz banyak menghadirkan cerita dan kasus keadaan empati, serta pertanyaan-pertanyaan mengenai sebab cerita dan kasus itu terjadi dengan istilah-istilah yang tak akrab di telinga.

Faiz Aziz menyebutkan kunci dasar dalam memahami empati bahwa tak cukup hanya dengan konsep antroposentris: berpusat pada aku, dalam hubungan antarmanusia. Konsep antroposentris mesti dipertemukan dengan konsep the otherness, atau keterbukaan ego bahwa aku berada dalam aku yang lain. Konsep the otherness itulah yang disebut dengan empati. Para seniman diberi pemahaman bahwa empati menempatkan kasih sayang sebagai yang utama. Dalam kesempatan itu juga ditekankan satu kesadaran kalau manusia bukanlah benda, alat, dan objek derita. Oleh karenanya, proyeksi dehumanisasi semestinya dapat diubah jadi humanisasi. 

Pemahaman tersebut tentu saja penting dalam proses dan praktik berkarya para seniman selama residensi dan setelahnya. Di dalam sebuah pertunjukan, seniman mesti dapat memosisikan dirinya di hadapan penonton dan sebaliknya. Faiz Aziz menyampaikan pentingnya kesadaran untuk memahami satu dengan yang lain, kesadaran untuk saling memberi kesempatan, kesadaran untuk saling membuka ruang, hingga kesadaran untuk saling memiliki kesadaran antarseniman. Karena pada dasarnya, kemanusiaan ada ketika seseorang (dalam hal ini seniman) menanggalkan pakaian keakuan dan egosentrisme di dalam kepribadiannya lalu membuka diri terhadap lingkungannya

Waktu berbagi yang tak lama antara Faiz Aziz dengan para seniman peserta residensi dalam sesi ini telah membuka kesadaran dan pemahaman para seniman tentang empati dan manifestasinya di dalam kehidupan berkesenian dan sosial. Faiz Aziz meyakini bahwa seniman itu sudah pasti ahli dalam hal empati. Itu hal natural bagi mereka, semestinya. Sebab kerja seni selalu menghadirkan the otherness contohnya sebuah pertunjukan yang ditonton banyak orang. Setelah sesi bersama Faiz Aziz berakhir, sembari makan siang, para seniman melanjutkannya dengan diskusi. 

Mongkle..Mongkle…” senggakan jargon khas OM Manhattan berkumandang. Dalam suasana santai, bersama-sama, para seniman bernyanyi dangdut koplo yang diputar dari gawai Otniel Tasman. Ya, lagu-lagu yang dinyanyikan biduan dari orkes melayu dengan nama sebuah kota di Amerika yang juga mengingatkan pada cerita pendek karya Umar Kayam itulah menemani proses kreatif para seniman selama residensi Empathy Spaces.

Whiteboard di Gedung Layang-Layang mulai terisi dengan kata kunci-kata kunci yang muncul dari diskusi para seniman. Mereka memulainya dengan poin “kejujuran” soal empati dan tegangan-tegangan yang ada di benak masing-masing seniman hingga hari ketiga residensi. Kesadaran tersebut kemudian diturunkan dalam beberapa uraian, yakni ketakutan membicarakan empati; kesadaran mendasar soal empati; pertanyaan-pertanyaan soal empati; dunia digital; realitas virtual dan fisikal; anonim; otentik; afeksi; dan refleksi. Syska, Otniel, Kidjing, dan Enji cukup aktif dalam diskusi ini. Sementara Mike dan Theo menjadi juru catatnya. 

Selain menabung kata kunci, mereka juga merancang agenda proses kreatif mulai dari mendiskusikannya dan improvisasi berbekal kata kunci yang ada menjadi bentuk gambar, gerak, bunyi, dan lain-lain. Hal tersebut mengisi log book pertemuan ketiga. 

Keesokan harinya, Kamis (24/11), para seniman dipertemukan dengan Broto Wijayanto, seniman yang juga fasilitator berkesenian disabilitas. Pada pertemuan keempat itu para seniman berhadapan dengan pertanyaan dasar, mampukah kesenian membuat seseorang bersikap terbuka, ramah, saling menghargai, toleransi terhadap perbedaan tanpa terkecuali, termasuk kepada disabilitas? 

Apa yang kalian tahu tentang disabilitas?” tanya Broto Wijayanto. 

Disabilitas seperti perbatasan yang terabaikan, bahkan ditinggalkan. Seakan keberadaannya di pinggir, dan terpinggirkan. Maka, ketika ada seseorang yang datang padanya dengan memberi perhatian dan menyenangkannya, tanpa pertanyaan: Siapa kau? Siapa aku? Ia akan memeluk dan menganggap seseorang itu adalah saudara yang selama ini ditunggu-tunggu. 

Sambil guyon dan tanpa tedheng aling-aling, Broto Wijayanto berkisah soal hubungan intimnya dengan teman-teman disabilitas. Hal-hal yang selama ini tabu dibicarakan justru hadir sebagai lelucon yang tentu saja gelap. Tapi bagaimana mungkin para seniman bisa tertawa oleh kelucuan yang pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk memancing canda tawa itu?! Hal tersebut bisa terjadi karena tidak lagi ada jarak di antara Broto Wijayanto dengan teman-teman disabilitas. Itulah yang jadi pekerjaan rumah para seniman ketika kelak akan berkolaborasi dengan disabilitas. 

Broto Wijayanto menceritakan kalau ada salah seorang dari teman-teman disabilitas bertanya dan menganalogikan dirinya seperti ulat bulu. Ia tertegun mendengar pernyataan itu. Namun, sejurus kemudian ia menemukan jawaban, “Kamu jangan khawatir. Kelak ulat bulu itu akan jadi kupu-kupu.” Dengan takjub teman disabilitas itu  mengejar jawaban yang dipikirnya ganjil itu. “Ulat bulu jadi kupu-kupu? Bagaimana caranya?” Di situlah Broto Wijayanto menyadari kalau ternyata selama ini di sekolah anak tersebut tidak pernah mendapat pelajaran mengenai metamorfosis. Cerita tentang ulat bulu itu kemudian menjadi pementasan bertajuk “Aku Ingin Menjadi Kupu-Kupu”. Seni telah jadi bahasa paling indah untuk berekspresi, termasuk bagi kaum difabel. 

Pada sesi ini berulang kali Broto Wijayanto mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan manusia reject. Semua orang sempurna dalam porsi masing masing. Hanya saja, penyandang disabilitas bukanlah mayoritas. Sementara itu, masyarakat cenderung menempatkan logikanya pada orang difabel untuk bisa mendengar, melihat, berjalan, mengerti cara berkomunikasi dan berlaku, yang sebenarnya bukan cara mereka.

Dari paparan Broto Wijayanto, sebenarnya ada sejumlah hal yang bisa dikelola untuk dipresentasikan dalam karya. “Bagaimana membuat pertunjukan yang bisa diterima oleh penyandang disabilitas? Jika tantangannya adalah komunikasi, maka yang lebih penting dari bahasa tubuh adalah menggunakan bahasa cinta,” ujar Broto Wijayanto. 

Ia menambahkan kalau profesor bahasa isyarat adalah penyandang tuli. Teman tuli bisa apa saja selain mendengar. Mereka detail dalam menangkap gerakan. Sedangkan teman-teman tuna netra detail dalam menangkap suara dan suasana. Seluruh tubuhnya adalah mata. Berbeda dengan penyandang disabilitas lainnya, penyandang tuna netra dan tuli membutuhkan penanganan khusus. 

Hal tersebut menjadi pertimbangan bagi para seniman untuk mewujudkan empati dalam karya yang diciptakan sehingga bisa dinikmati semua kalangan. Namun, pandangan itu segera disergah oleh Broto Wijayanto. Ia bilang, “kalau mau menciptakan karya, ciptakan saja dulu. Tidak perlu memikirkan di awal apakah karya itu akan diterima oleh disabilitas atau tidak. Kuncinya visual penting untuk tuli, audio penting untuk netra.” 

Di akhir sesi ia menyampaikan bahwa kepolosan anak-anak, keceriaan anak-anak, kebahagiaan anak-anak mesti diciptakan ketika berhadapan dengan disabilitas. Rasa jadi kata kunci komunikasi dengan disabilitas. Dalam hal ini, bahasa kalbu lebih utama ketimbang bahasa isyarat.

Demikianlah, di Gedung Layang-Layang PSBK persoalan-persoalan empati terus terurai bahkan mencakup hal-hal mengejutkan yang tak terpikirkan sebelumnya. 

Salah satu hal yang juga harus dimusyawarahkan di gedung tersebut adalah kebijakan terkait keikutsertaan Ferry Alberto Lesar.  Dalam suasana santai sembari mendengar lagu-lagu hits yang dinyanyikan OM Manhattan, Istifadah meminta pertimbangan para seniman menyikapi keterlambatan Ferry menerima materi dan dalam kolaborasi penciptaan karya. Sejak awal ia kurang mengupayakan diri terlibat dalam forum. Komitmennya perlu dipertanyakan.  Untuk itu, sebuah kebijakan perlu diputuskan meskipun satu peserta harus direlakan, dan menyisakan enam orang sebagaimana yang sudah berjalan sejak awal. 

Hal tersebut juga berkaitan dengan perilaku praktik empati yang ditumbuhkan dalam proyek ini. Para seniman muda dengan suara, pendapat, pandangan, dan pengalaman hidup yang berbeda disatukan untuk bersama-sama mengalami dinamika proses kreatif yang bertumbuh. Untuk itu, kuasa ego mesti dilepaskan dengan menjalin komunikasi dua arah sehingga dapat saling mendengarkan pendapat orang lain dan meminimalisir potensi konflik. 

Kesadaran itulah yang mendasari diskusi-diskusi (untuk tidak menyebutnya debat kusir) selama proses kreatif berlangsung. Gagasan-gagasan dan eksperimen-eksperimen yang didapat dari sesi workshop dan sesi berbagi, termasuk wawasan terkini dari Broto Wijayanto, dibicarakan dan dicatat. Kata kunci-kata kunci yang terhimpun pun bertambah. Mulai dari, “rajut” yang bertalian dengan “keterhubungan”. Kesadaran media berupa “media sosial sebagai realitas buatan” yang disusul citraan audio dan visual  berupa: topeng (anonimitas, pesona, imaji); gerbang; mata (tatapan); tegangan otot; sentuhan; cermin atau shadow; dan kolase suara (tubuh, benda kesayangan) yang diproyeksikan dalam film (extreme close up). para seniman juga menyusun ancangan kemungkinan melakukan tanya jawab atau polling melalui Instagram yang akan jadi story telling studi kasus dengan mengumpulkan ketakutan dan dieksplorasi di dalam pertunjukan dengan tujuan “mengajak” penonton “merasakan”. Dengan demikian karya yang akan dihasilkan adalah perpaduan antara pertunjukan live dan video. Dalam tahap ini eksplorasi bentuk kekaryaan sudah mulai ditentukan.  

Mongkle..Mongkle…” jargon OM Manhattan lamat-lamat berkumandang di dalam Gedung Layang-Layang. 

 

TANGKAP-TIMBANG EMPATI

Gerbang artistik dari batu-bata yang disusun mengombak rancangan arsitek Eko Prawoto yang berdiri di muka Gedung Layang-Layang basah oleh gerimis. Dari bawah lengkung gapura itu, Jenar Kidjing terlihat sedang memainkan suling Baduy miliknya, sementara yang lain berdiskusi sembari menikmati kopi panas. Jika biasanya kegiatan dimulai pukul 10.30, Jumat (25/11), para seniman sudah berkumpul di Gedung Layang-Layang sejak pukul 09.30 WIB. Mereka akan berhadapan dengan layar Zoom Meeting dan bertemu Joned Suryatmoko yang tengah berada di Amerika. Joned Suryatmoko, kandidat doktor di program Theatre and Performance, the Graduate Center City University of New York itu didapuk selaku mentor yang memberikan catatan kritis tentang praktik empati dalam karya seni dan dalam berkesenian. 

Melalui sambungan hibrida begini, kita menghadapi keterbatasan tapi sekaligus keleluasaan. Jika ada yang tak nyaman, terlalu cepat, atau tidak jelas, tolong bilang ya teman-teman…” demikian ujar Joned Suryatmoko mengawali pembicaraan. 

Setelah beramah-tamah dengan Jeannie Park dan berkenalan dengan para seniman, Joned Suryatmoko mengajak para seniman bermain games yang sebenarnya bermaksud mengunci konsentrasi supaya fokus menerima materi. Pada kesempatan itu, para seniman diminta untuk menatap ulang materi dari fasilitator dengan ekspresi latar pribadi masing-masing peserta. Para seniman juga diminta untuk menimbang ulang gagasan tentang empati dan meletakkannya pada konteks pribadi. Tidak hanya itu, para seniman ditugaskan untuk membuat kontekstualisasi bagaimana empati bisa diterapkan dalam praktik kesenian. 

Kepada setiap seniman, Joned Suryatmoko mempertanyakan, “selama sepekan sesi residensi berlangsung, sesi siapa yang paling relevan dan provokatif?”

Pertanyaan itu dijawab oleh Theo kalau ia tergugah oleh pernyataan Melati Suryodarmo bahwa seni bisa menghadirkan realitas, dan realitas tersebut bisa menjawab realitas lain di sekitarnya. Empati tidak sekadar wacana tapi juga perlu tindakan. Syska memiliki keterbukaan terhadap disabilitas setelah bertemu Broto Wijayanto. Ia yang awalnya merasa seorang antroposen (menurut paparan Faiz Aziz), ingin bisa dekat dengan semua kalangan melalui seni. Kidjing merasa tergerak untuk mendedah ulang kepekaannya menatap lingkungan sekitar, khususnya dunia digital. Setelah diskusi dengan Melati Suryodarmo, ia jadi memiliki pemahaman yang lebih luas tentang anonimitas di media sosial yang awalnya terasa nir-empati atau pengecut ternyata di sisi lain adalah hal yang baik dalam konteks penciptaan karya secara massal.  Otniel merasa terdorong kesadarannya setelah Melati Suryodarmo mengajak para seniman untuk menilik praktik diskriminasi di sekitarnya. Hal tersebut sejalan dengan paparan Faiz Aziz mengenai empati yang tidak bisa lepas dari the otherness.   

Setelah mendengar kisah pengalaman para seniman, Joned Suryatmoko mengkritisi tangkapan tatapan para seniman atas praktik empati yang pernah dilakukan para seniman. “Kalau diperhatikan kita berada pada posisi yang memberi, bukan yang diberi. Bukankah itu berarti kita merasa lebih beruntung? Apakah kita benar-benar berada pada posisi yang lebih beruntung? Tapi, apakah kita pernah pada posisi sebaliknya?” ujar praktisi teater kelahiran Solo, 21 Maret 1976 itu.

Joned kemudian menayangkan film dokumenter pementasan “Margi Wuta” garapan Teater Gardanalla kolaborasi antara Joned Suryatmoko dengan Ari Wulu pada tahun 2013. Ia membuat pertunjukan yang dimainkan oleh penyandang visually impaired (gangguan penglihatan). Ia menggarisbawahi pernyataan ganjil salah satu penonton yang menjadi permenungannya tentang empati. Dari situ Joned menampilkan karya keduanya dalam Biennale Jogja XIII 2015 dengan membalik realitas, posisi, dan logika, bagaimana peristiwa seni rupa bisa dinikmati oleh orang yang tidak bisa melihat? Sementara satu-satunya yang bisa memberi petunjuk bagi pengunjung adalah seorang penyandang netra. Dalam peristiwa tersebut sedang dihadirkan kesadaran pengalaman yang sama, bukan empati. Karya kedua Joned merupakan revisi pemahamannya atas empati pada karya sebelumnya. Ia menempatkan teman netra sebagai yang memberi, tidak seperti “Margi Wuta” yang posisinya menjadi yang diberi. Ia menggarisbawahi bahwa posisi netra dan orang normal pada umumnya adalah setara: mengalami ruang yang sama dan perlu diperlakukan setara.

Joned Suryatmoko kembali memantik dengan sebuah pertanyaan, “Bagaimana jika teater tidak lagi hadir sebagai peristiwa visual, tetapi aural?” Berkaitan dengan proyek Empathy Spaces ini, ia menyampaikan kalau para seniman perlu memperhatikan adanya batas etis. Sebab, boleh jadi kita (seniman Indonesia) sedang didudukkan sebagai golongan yang membutuhkan empati. Proyek ini seakan terlihat sama, tapi praktiknya sesungguhnya tidak sedang dalam proses empati. Joned menegaskan, “Pijakannya adalah orang yang diajak bekerja sama merupakan orang-orang yang ahli dalam bidang tertentu. Maka, kita perlu lebih waspada kapan jurus (seperti empati harus dikeluarkan dan disimpan) yang sudah dikonsep diaplikasikan!” 

Dari ilustrasi-ilustrasi tersebut ia sedang menyampaikan bahwa tidak ada teknik/jurus tunggal di dunia seni. Kemungkinan-kemungkinan praktik empati dalam karya seni akan terus-menerus mengalami penyesuaian berdasar pada respons dan situasi yang ada di panggung dan sekitarnya, termasuk dalam misi apa sebuah proyek kesenian dikerjakan. Joned menegaskan kalau empati sesungguhnya menunjukkan ekspresi kuasa. Empati itu “berbahaya”. Empati bermuka dua. Ada konsekuensi lain ketika seseorang berempati, bahwa ia sedang melanggengkan tatanan tertentu.

Setelah mendapat ilustrasi, pertanyaan, dan penjelasan-penjelasan Joned Suryatmoko, maka pertanyaan, keraguan, bahkan ketakutan para seniman dalam menatap empati selama proyek ini pun jadi makin jelas arahnya. Para seniman yang sebelumnya masih tampak meraba-raba, kini mulai memiliki gambaran bentuknya. 

Akhirnya para seniman mendapat materi tentang empati dan praktiknya di era digital. Untuk membicarakan empati di era digital praktiknya pun ternyata berlangsung dengan media digital. Hari itu, lagi-lagi para seniman mesti bertatap muka dengan layar dan kamera. Charyna Ayu Rizkyanti, seorang pakar empati yang berfokus pada empati di dunia digital, membagi wawasannya melalui Zoom Meeting

Charyna Ayu Rizkyanti menyampaikan kalau di dalam berempati seseorang tidak hanya mengedepankan rasa tetapi juga nalar. Lantas, dapatkah masing-masing seniman berempati dengan cara memahami perasaan dan nalar dari setiap seniman yang berlainan? Bisa, tapi itu bukan hal mudah!

Pada hari terakhir pekan pertama kolaborasi para seniman dalam residensi Empathy Spaces itu, masih ada rasa sungkan sehingga proses diskusi untuk menghasilkan karya belum bisa berjalan secara maksimal. Kedudukan mereka pun setara, belum ada (atau malah tidak ada) pembagian kerja secara spesifik. Komposisi para seniman disesuaikan dengan kemampuan dan kesadaran diri masing-masing. 

Proses yang singkat dan instan sebagaimana kecenderungan media digital, serta cara kerja yang juga menerapkan pola hibrida membuat proses pencarian dan pengumpulan materi berlangsung lebih ringkas dengan melipat jarak dan waktu yang merentanginya. Namun, bagaimana seorang seniman dapat menghargai waktu di proses yang sangat cepat saat itu? Bagaimana menghargai orang lain di era digital? Bahwa di era digital yang serba cepat, seseorang mesti cermat dan kembali bercermin di mana posisinya dan sejauh mana harus terlibat dengan urusan orang lain. Sebab media sosial hanya menampilkan dunia yang sepotong-sepotong, dan oleh karenanya kesalahan dan kebenaran tak terukur.

Materi yang diberikan oleh Charyna Ayu Rizkyanti relevan bagi para seniman yang dalam keseharian hampir tak terpisahkan dari gawainya. Media digital dan jaringan internet menjadi satu jembatan penghubung sekaligus palang pintu pemisah yang akan sangat berpengaruh bagi jalannya proses kreatif penciptaan karya Empathy Spaces. Senada dengan yang telah disampaikan Faiz Aziz, dari materi Charyna Ayu Rizkyanti dapat dipahami pengertian empati dan penerapannya di era digital yang menitik beratkan pada kemampuan seseorang untuk merasakan sesuatu yang dirasakan orang lain. 

 

EKSPLORASI PENCIPTAAN KARYA

Hari demi hari berlalu dengan suasana sendu oleh cuaca yang tak menentu. Matahari seperti enggan menjumpai hari-hari terakhir bulan November.

Sementara itu, para seniman peserta residensi Empathy Spaces di Indonesia telah melalui beragam proses pembekalan, baik dalam sesi workshop maupun sesi berbagi dari para pakar profesional pilihan panitia PSBK. Dalam dua pekan yang tersisa, mereka akan mengikuti master class sebanyak tiga sesi dengan narasumber Enni-Kukka Tuomala dan menjalani proses penciptaan karya. Pada sesi master class, seniman Indonesia dan seniman Inggris akan berproses bersama secara hibrida dalam dua pertemuan.

Setelah mendapat bekal dari para mentor dan narasumber pada pertemuan-pertemuan di pekan pertama, kini para seniman Indonesia peserta residensi Empathy Spaces mulai mengeksplorasi gagasan-gagasannya melalui diskusi proses kreatif dan pencarian ataupun uji coba bentuk. Sesudah mengeliminasi kata kunci-kata kunci yang telah dikumpulkan sebelumnya, para seniman menyisakan satu benang merah yang telah disepakati bersama yakni anonimitas di dunia maya dan nyata. 

Yang masih jadi pertanyaan dan pertimbangan para seniman ialah cara mempresentasikan interaksi yang ambigu sekaligus multiinterpretasi, yang bisa dilepas-pasang,  juga perkara keterlibatan penonton. Catatan lain para seniman adalah bagaimana menghadirkan anonimitas (dan identitas) digital yang seolah kuat namun sesungguhnya rentan, gampang rusak, dan bahkan mudah musnah? Kidjing yang sejak awal gelisah dengan isu anonimitas itu mengusulkan bahwa secara artistik dan perlu dihadirkan gerbang cahaya sebagai simbol pemisah dua dunia virtual dan dunia nyata. Syska kemudian mulai membuat gambar, membagi panggung, dan merancang pertimbangan-pertimbangan komposisi antara cahaya dan gerak.

Sayangnya, untuk mewujudkannya diperlukan piranti yang ternyata belum bisa disediakan sepenuhnya oleh PSBK. Kemungkinan-kemungkinan lain pun diupayakan. Lalu, sebuah tawar-menawar yang tak berkesudahan. 

Setelah tahu bahwa presentasi karya dilakukan daring dan membatasi keterlibatan penonton secara langsung, diputuskan untuk membuat film berisi interaksi fisik yang nantinya akan memaksimalkan pendekatan media; keberadaan proyektor dalam hal ini jadi penting. 

Untuk menata bentuk, para seniman pun mulai meraba-raba lantai panggung Gedung Diponegoro yang dingin disebabkan hujan. Pada hari pertama pekan kedua residensi, Senin (28/11), para seniman menjajal panggung, menata pola, menentukan lampu, dan sebagainya dan sebagainya.  

Hari berikutnya, Selasa (29/11), jarum jam sudah memukul angka 12.00, tapi matahari masih malas. Aditya Kresna sudah menyiapkan kamera, tata cahaya, dan segenap keperluan pendukung pengambilan gambar tubuh para seniman. Tubuh dan interaksi paling intim antarmanusia akan direkam sebagai video kolase dan audio interaksi satu dengan lainnya. 

Adit mulai bekerja. Ia rekam perut Kidjing yang bergelombang saat diguncang dan ditampar. Lalu punggung dan pinggang Mike yang basah mengkilap, yang melenggak-lenggok, direkam, sebelum beralih ke wajah, dan juga lengan yang diremas jemari tangannya sendiri. Kemudian berganti Theo. Rambutnya yang hitam panjang dijalin oleh Enji. Setelahnya, antara mata kamera dan mata Theo bersitatap, seperti sedang bertukar-tangkap cerita. Adit juga merekam ekspresi bibir pendiam yang bermahkota tahi lalat mungil itu. 

Interaksi antara dua seniman kembali dilakukan, kali ini Enji dan Kidjing saling bersilang kaki. Debu jalanan kota Yogya sebagai sebuah biografi yang menempel di kaki Kidjing dikosok kaki Enji hingga mengelupas. Sebuah interaksi kembali terjadi, kali ini antara pantat Enji dengan tangan Mike. Sebuah pertemuan antara yang sengaja digerakkan dan yang diam ―interaksi yang aktif dan pasif. Belum berakhir, sebuah interaksi berupa ketegangan dan tabrakan antara Otniel dan Enji terjadi. Benturan yang keras tapi menyatukan. Dilanjutkan oleh Otniel seorang diri. Gerak jakun, otot leher, tonjolan rusuk, hingga pori-pori kulitnya yang basah ditangkap close up, sebelum Syska mencekik dan membelai. Bersama-sama para seniman membuat adegan terakhir. Kidjing merebahkan tubuhnya, bulu dadanya dicubit-cabuti tangan yang lain. Proses ini merupakan intensi tentang keintiman interaksi tubuh manusia..

Segala yang baru saja dibuat itu segera diolah oleh Aditya Kresna jadi kolase hitam putih. Upaya pemanfaatan media rekam dan kebutuhannya untuk dihadirkan di panggung menjadi kesadaran yang seakan tak terelakkan dari proses itu. Kolase itu akan bertemu dengan tubuh para seniman dalam presentasi karya Sedang Tumbuh I keesokan harinya. Oleh sebab itu, usai pembuatan video para seniman langsung ke lantai latihan. Pada pukul 16.00 WIB kain hitam sudah mengepung panggung  Gedung Diponegoro. Sebuah proyektor menyala. Tata lampu dan suara sudah dipadu-padankan.  Para seniman menghitung dan menentukan pola adegan demi adegan. Tak butuh waktu lama, sebelum matahari terbenam para seniman sudah kembali ke Gedung Layang-Layang.

Usai makan malam, tepatnya pukul 18.30, para seniman Indonesia dan seniman UK terhubung via zoom meeting. Untuk pertama kalinya seniman dari kedua negara bertemu. Saat itu adalah pertemuan kedua bagi seniman yang dinaungi PBs, sedangkan bagi seniman Indonesia di PSBK sudah masuk pada pertemuan ketujuh. Ini jadi momentum permulaan dalam mempersiapkan karya “Sedang Tumbuh” pada residensi Empathy Sepaces ini. Pembicaraan mengenai proses penciptaan karya “Sedang Tumbuh” dapat dibaca pada sub bab selanjutnya.

Master class bersama Enni-Kukka sekaligus menjadi momen pertemuan pertama antara seniman Indonesia dan seniman Inggris. Pada kesempatan itu seniman dan tim proyek Empathy Spaces baik dari PBs dan PSBK saling berkenalan. Secara daring, jarak ruang dan waktu antara dua negara dapat bertemu di layar kaca. 

Enni-Kukka Tuomala mengawali materi dengan menceritakan aktivitasnya sebagai seniman empati. Setelahnya, sebagai awalan, para seniman diminta untuk memejamkan mata memusatkan pikiran dan merasakan suasana sekelilingnya dalam beberapa saat. Para seniman diminta untuk membagikan pengalamannya merasakan suasana sekelilingnya itu.  

Enni-Kukka kemudian mengajak para seniman mendialogkan manifestasi empati sebagai bentuk dari “empati radikal” (sebuah istilah yang dikampanyekan Enni-Kukka) dalam kehidupan sehari-hari. Ia memulainya dengan sebuah pertanyaan, “sebagai seniman, empati seperti apa yang akan termanifestasi dalam kerja kolaborasi bersama seniman yang sebelumnya tidak dikenal?” 

Enni-Kukka kemudian menawarkan cara untuk menggapai empati dari yang abstrak menjadi praktik yang terukur. Ia menegaskan bahwa empati hadir dalam ruang-ruang kolaborasi di bidang kesenian karena adanya pihak lain dengan latar belakang beragam, dan empati akan bekerja menyesuaikan latar belakang itu. Menurutnya, pembicaraan tentang empati dalam proyek ini sangat menarik karena komposisi seniman dari lintas negara, lintas bahasa, lintas budaya, akan menyumbangkan perspektif yang beragam tentang empati. Empati tidak semata-mata hanya akan membicarakan empati, tapi akan menyadarkan bahwa sesungguhnya empati sudah ada dalam praktik berkesenian. Oleh karenanya, perwujudan praktik empati di dalam proses kolaborasi berkesenian memerlukan konfirmasi-konfirmasi pemahaman antarseniman agar tidak terjadi penerimaan gagasan secara sepihak. 

Enni-Kukka menyampaikan ilustrasi lewat sebuah pertanyaan, “ketika ada kata empati, apa yang tebersit di pikiran, apa yang dirasakan, dan apakah kata itu menggerakkan? Jika iya, menggerakkan pada hal apa?” Semacam umpan, hal tersebut memancing respons beragam baik dari seniman Inggris maupun seniman Indonesia. Bahwa output empati akan mengantarkan seseorang untuk mau mencoba lebih memahami, mendengarkan, dan mengapresiasi orang lain; mau mencoba untuk lebih merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Seniman empati pertama di dunia itu menyatakan satu rumusan penting bahwa empati berada di wilayah personal maupun profesional, tapi praktik dan manifestasinya berbeda. Meskipun demikian, praktik empati terkadang punya jebakan yang memungkinkan terhapusnya identitas personal di ruang kerja yang melibatkan orang lain. 

Enni-Kukka kemudian memberi waktu sepuluh menit kepada para seniman untuk memejamkan mata dan membayangkan empati yang dilihat dan dirasakan. Ia kemudian memberi waktu dua menit kepada para seniman untuk kembali memejamkan mata dan membayangkan suasana ketika sedang berada di satu ruang dengan seseorang yang ingin diajak kolaborasi. Yang dilihat dan dirasakan itu diwujudkan sebagai tulisan, gambar, atau gerakan. Metode Enni-Kukka bertanya kepada para seniman, bagaimana seniman menjawab, apa jawabannya: logis, absurd, dan beragam deskripsi yang muncul, sesungguhnya merupakan penerapan praktik empati secara langsung dan mendasar.

Perjumpaan dengan Enni-Kukka selama dua jam itu menjadi satu pengalaman yang berimbas pada pemikiran dan pemahaman para seniman dalam menentukan langkah ke depan, baik secara personal maupun profesional, baik sendiri maupun kolaborasi. 

 

BERSITATAP DENGAN LAYAR, BERSIPAUT DENGAN LATAR #1

Rabu (30/11), seharian hujan. Meskipun demikian, Presentasi Karya Sedang Tumbuh #1 yang sudah dijadwalkan mesti diselenggarakan. Siang suram itu, Otniel, Theo, dan Mike menyusun tubuhnya dalam gerak. Gawai menyala di genggaman. Kidjing memainkan musik racikannya. Syska memastikan tayangan proyektor dan cahaya menyala sesuai kadarnya. Presentasi, akan sepenuhnya mengandalkan mata kamera dan segenap logikanya. Oleh karenanya, tata cahaya panggung perlu diperhitungkan dengan sebaik-baiknya. 

Itu baru sebuah uji coba. Meski hujan deras mengguyur kompleks PSBK, para seniman dan tim tetap mencari kemungkinan-kemungkinan bentuk dan menyiapkan peralatan sebaik-baiknya sembari menunggu Enji yang masih tertahan hujan di rumahnya. 

Wacana, teks, gambar, bunyi, dan diskusi-diskusi selama proses dituangkan dalam bentuk lain yang bukan berupa kata-kata verbal melainkan gerak tubuh. Bahasa tubuh dianggap universal untuk mengungkapkan rasa dan menerabas batas bahasa antara dua negara. Sesekali peristiwa di panggung itu terhenti dengan negosiasi-negosiasi antara para seniman dengan crew presentasi malam itu.  

Hujan masih belum reda ketika Enji datang. Ia segera bergabung dengan para seniman lainnya yang terus bereksplorasi di lantai latihan. Persiapan itu juga diisi dengan diskusi kecil bersama Jeannie Park. Sebuah upaya untuk menyiapkan presentasi di hadapan jarak, di hadapan tatapan yang tak langsung. 

Pada pukul 15.45, hujan mulai reda. Run through mempersiapkan presentasi pertama pun dimulai. Hasil dari sebuah kerja tim paduan antara proses empati yang telah dialami masing-masing. Sebagai seniman yang sudah berpengalaman, seniman dengan bakat alam dan intelektualitas dari pendidikan seni yang dijalani, setidaknya proses kreatif sebelum dan selama mengikuti program residensi Empathy Spaces akan termanifestasi dalam presentasi pada saat itu. 

Malam harinya, suasana bergairah tampak di Gedung Diponegoro. Seluruh tim yang terlibat dalam Presentasi Karya Sedang Tumbuh #1 berada pada posisi sesuai porsi masing-masing. Sebuah lampu pelan-pelan menyala menyorot Jeannie Park yang duduk di bibir panggung. Sebelum presentasi dimulai, Jeannie Park yang pada malam itu menjadi pewara membuka forum dan beramah-tamah dengan seniman PBs di UK dan Melati Suryodarmo yang mewakili narasumber Indonesia. Jeannie Park juga memperkenalkan kembali para seniman Indonesia yang akan mempresentasikan karyanya, setelah sepekan menjalani proses.  

Syska duduk menatap monitor streaming, memastikan hasil tangkapan tiga kamera yang akan mengintai para seniman di panggung. Presentasi dimulai pukul 19.30 WIB dan berakhir pukul 19.50 WIB. Pementasan terdiri dari tiga babak. Babak pertama merepresentasikan hubungan empati antarsesama manusia, dengan menampilkan kolase video close up interaksi pada bagian-bagian tubuh seseorang. Babak kedua merepresentasikan tumbuh dan hilangnya empati dengan menghilangkan identitas atau dengan kata lain menjadi anonim pada jejaring media sosial. Babak ketiga merepresentasikan empati yang hilang pada realitas fisik dan realitas virtual yang dirampas/dikontrol media sosial.

Setelah presentasi, para seniman berdialog. Syska menyampaikan kalau storyboard pertunjukan yang dibuatnya merupakan interpretasi hubungan sosial dengan nalar warna yang ditampilkan pada layar gawai, pakaian yang dikenakan, juga pada komposisi cahaya panggung. Benang merahnya adalah kompleksitas hubungan antarmanusia.

Ini adalah kesempatan pertama bagi seniman Indonesia untuk presentasi dan dinilai. Namun, sebelum para seniman UK memberikan pendapatnya, Jeannie Park meminta Melati Suryodarmo selaku mentor untuk berkomentar. Ia mengikuti proses dan diskusi para seniman sejak awal. Ia telah menanamkan dasar untuk melihat realitas kehidupan. Ia menjelaskan proses pendampingannya selama proses bersama seniman. Ia merasa kalau kolaborasi dalam proyek Empathy Spaces amat penting. Dari presentasi yang disaksikan, ia lihat imajinasi, interes, dan hal-hal yang dipahami dengan empati merupakan satu kesadaran yang kompleks. Ia mengapresiasi kerja seniman, dan terkejut melihat hasilnya. Tiap-tiap kata kunci dalam tiga babak dapat dirinci dengan cukup sukses. Hasil presentasi menunjukkan kerja keras seniman di waktu yang pendek. 

Selain itu presentasi seniman Indonesia tersebut juga mendapat respons dari seniman PBs Inggris. Seniman Inggris mengapresiasi kerja seniman Indonesia dengan cukup menggembirakan. Ada yang memuji audio garapan Kidjing yang terasa asing di telinga mereka. Mereka suka pada pilihan latar musik yang powerfull dan sesuai gambar maupun gerakan. Ada pula yang suka melihat interaksi gawai dengan anatomi tubuh penari sebagai representasi keterhubungan antara yang satu dengan yang lain. Mereka juga mengapresiasi tayangan interaksi tubuh pada sorot proyektor. Video yang menampilkan perut, kerut kulit, tatapan mata, cengkeraman, ketegangan otot, dan lain-lain sangat provokatif. Secara komposisi artistik, tayangan tersebut juga tidak tertumpuk dengan tarian yang ada di depannya. Namun, seniman Inggris menilai kalau yang justru belum tertangkap secara utuh dalam presentasi itu adalah kata kunci utamanya, yakni empati. 

Setelah diskusi dengan PBs berakhir, Melati Suryodarmo kembali berdialog. Ia menanyakan apa kendala yang dijumpai dalam proses. Jenar Kidjing menjawab kalau capaian bentuk yang hadir merupakan hasil dari mengikat ego masing-masing. Sebab akibat yang dijumpai sebelumnya berhasil dipangkas. Dan hasilnya adalah yang dipresentasikan itu. Bayangan mengenai ruang empati yang dipertanyakan Enni-Kukka sangat membantu dalam menyadari jalan dan arah proses ini. Sementara Theo merasa kalau ia masih mencari objek dan memerlukan motivasi, emosi, dan pengalaman empati. Ia menempatkan empati di dalam dirinya sebagai sesuatu yang bertumbuh. Sedangkan Syska mencoba menaklukkan panggung hitam dengan mengisinya setelah melihat dari layar. Ia lihat celah yang bolong di panggung yang belum diisi seniman. Hampir senada dengan jawaban Kidjing, Enji di dalam proses ini merasakan suatu kerja yang netral dan natural. Ia menyadari bagaimana masing-masing seniman menemukan jalan tengah. 

Melati kemudian menyampaikan kalau dengan terbatasnya waktu, presentasi ini sudah optimal. Kalau ada waktu perlu bentuk-bentuk spontan. Ia melihat kalau bentuk harus ada, tapi bentuk yang bagaimana yang perlu dipresentasikan dan direpresentasikan? Setiap gerakan perlu dibongkar dalam proses selanjutnya. Semua harus ada alasannya. 

Melati menambahkan kalau di balik proses yang organik ada keberanian untuk jujur. Itu penting. Yang organik, yang holistik, memerlukan ruang berbagi antara berpikir dan kerja. Kolaborasi yang dibutuhkan adalah kerja sama yang setara dan perlu kesadaran bersama. Di ujung malam itu, Jeannie Park menyampaikan satu kalimat pamungkas yang penting, bahwa karya yang dipresentasikan milik seniman, bukan milik PSBK!

 

EMPATHY MASTER CLASS 

Kamis (1/12), pukul 14.00 WIB, para seniman me-review presentasi mereka. Kali ini tidak di PSBK, para seniman berdiskusi di Ada Sarang. Mereka menyaksikan kembali rekaman pementasan, mencari bolong, dan menentukan kemungkinan-kemungkinan untuk menambalnya pada saat presentasi kedua. 

Pukul 18.00 WIB para seniman Indonesia sudah berkumpul di Gedung layang-Layang untuk master class bersama Enni-Kukka Tuomala. Topik hari itu adalah “Empathy and Your Practice” #2. Setelah memberi pengantar, Enni-Kukka memutar video berisi arahan kepada para seniman untuk memejamkan mata dan merenungkan self-empathy yang selama ini dialami. Ia ajak para seniman untuk kembali mendengarkan suara-suara dalam dirinya. Selanjutnya mereka mendialogkan hal tersebut. Mereka bersepakat kalau sebelum praktik empati yang melibatkan orang lain ada baiknya berempati pada diri sendiri. Menurut Enni-Kukka, kesadaran itu mesti terkontrol dan teragenda karena hal tersebut tidak muncul begitu saja secara alami. Para seniman mendapat gambaran analogi-analogi mengenai kesadaran masing-masing. 

Enni-Kukka meminta para seniman saling berpasangan dan saling bertanya soal manifestasi dalam berkarya. Hal ini merupakan praktik mendengarkan, menyimak, dan merespons untuk menguji empati dan kepedulian masing-masing seniman. Dialog tersebut menjadi lambaran untuk saling memahami persoalan empati masing-masing seniman dan situasinya yang melatarbelakanginya. Mike dan Kidjing mendiskusikan kontrol terhadap empati. Kidjing merasa kalau empati tidak melulu harus ditampilkan, mesti empan papan. Kemudian, Enni-Kukka menanggapi pendapat Kidjing dan Mike bahwa para seniman perlu tahu posisinya sebagai seniman membutuhkan lingkungan seni yang bagaimana? Situasi dan konteks seperti apa yang memunculkan empati? Jika tidak berhasil lalu apa yang akan dilakukan? Kesadaran berupa pertanyaan-pertanyaan semacam itu dibutuhkan olah pribadi seorang seniman dalam berproses kreatif.

Otniel dan Enji mendiskusikan kontrol diri pada situasi tertentu untuk menerbitkan kesadaran kapan waktu yang tepat berbagi sisi privat kepada orang lain. Otniel menyatakan, untuk menempuh titik kontrol yang seimbang maka perlu mendengarkan diri sendiri, mendengarkan pikiran dan tubuhnya. Sedangkan Theo dan Syska mendiskusikan tentang daya perempuan. Keduanya bercerita kalau sedang membuat gerakan berbasis komunitas di daerah masing-masing, yakni Jawa Timur dan Maluku. Bahwa penggerak aksi tersebut ialah perempuan! Dari kisah para seniman, Enni-Kukka menyebut kalau semua itu praktik empati yang paling nyata.

Enni-Kukka kemudian meminta para seniman untuk mengisi kontrak kepada diri sendiri atau orang lain atau kelompok berupa resolusi untuk membangun situasi empati yang nyaman dalam bekerja. Setelah itu, para seniman kembali berdiskusi tentang langkah yang perlu didahulukan untuk mewujudkan kontrak itu. Mengenai praktik diskusi yang dilakukan seniman Indonesia, Enni-Kukka melihatnya sebagai satu hal yang menarik. Hal itu menunjukkan kalau setiap pribadi para seniman bisa bekerja sama dengan baik. Hal itu modal untuk membangun ekosistem lingkungan kerja seni yang nyaman dan aman untuk diri sendiri dan banyak orang. 

Master class dengan Enni-Kukka yang bergairah itu berakhir bertepatan dengan turunnya hujan. Masih ada satu master class lagi bersama Enni Kukka untuk seniman Indonesia dan Inggris pada Senin (5/12) mendatang. Selain itu para seniman juga terus merancang karya dengan me-review presentasi karya Sedang Tumbuh #1, mencari kekurangan dan juga kemungkinan-kemungkinan untuk ditambahkan. 

Diskusi melahirkan rumusan untuk sejumlah hal mendasar, antara lain mengenai batas antara virtual-fisik, chaosorder, mekanik-organik, awareunaware yang masih keliatan. Poin-poin tersebut mendasari kebutuhan musik. Pada hari-hari Proses kreatif, para seniman menyusun kembali storyboard  untuk presentasi kedua. Alur pembabagan dengan segala instrumen yang dibutuhkan dan setiap gerak yang dihadirkan perlu ditentukan fungsi dan maknanya; berupa eksplorasi atau menyampaikan sesuatu!? Mengingat presentasi proyek ini sepenuhnya mengandalkan  pendekatan dan pemanfaatan media rekam dengan segenap logika sinematografinya, agaknya interaksi dengan kamera perlu dilatih. 

Selain mendiskusikan karya, pada hari itu para seniman juga menyelesaikan PR untuk menyusun mozaik dari kata-kata dan gambar dari media massa. Gambar atau teks yang dimaksud adalah yang menurut seniman mencitrakan empati. Selama menyusun, masing-masing seniman tidak diperbolehkan berkomunikasi verbal satu dengan yang lain. Para seniman asyik memotong kata-kata dan gambar jadi kolase yang ditempel pada kertas kardus bekas. Hari berlalu, ditemani dendang dangdut koplo OM Manhattan,  “Mongkle..Mongkle…!” 

Malam harinya para seniman di PSBK kembali bertemu dengan PBs di kelas empati Enni-Kukka yang membahas “Empathy and Your Tools”.  Pukul 18.30 WIB para seniman sudah menghadap layar monitor. 

Enni-Kukka memulai materinya dengan bertanya, “apa yang kalian rasakan hari ini?” Seperti dalam master class sebelumnya, para seniman diminta berdiri pada posisi yang paling nyaman dan merefleksikan hal yang dirasakan. 

Seperti pertemuan sebelumnya, Enni Kukka meminta para seniman untuk berdiri pada posisi yang paling nyaman dengan memejamkan mata dan merasakan suasana yang tengah dialaminya. Dalam masterclass terakhirnya, Enni-Kukka kembali mengajak para seniman untuk active listening, dalam praktik komunikasi antarseniman.  

Enni-Kukka membagi para seniman ke dalam dua kelompok, masing-masing anggota kelompok berbagi tugas; ada yang memberi arahan dan ada yang diberi arahan. Yang berposisi sebagai pemberi arahan mesti bisa menggambarkan objek yang dimaksud secara detail dengan menyebut sejumlah kata yang memungkinkan jadi petunjuk kepada yang berposisi diberi arahan, yang akan menggambar objek dengan mata tertutup. Gambar akan sesuai jika arahan benar. 

Objek pertama yang harus digambar adalah apel. Objek kedua adalah payung polkadot. Hal tersebut merupakan upaya untuk latihan memberikan instruksi. Latihan itu berguna untuk meleburkan ekspektasi, asumsi, dan definisi final tentang diri kita. Dengan demikian maka akan terwujud empati pada diri-sendiri, kolaborator, dan masyarakat sosial yang lebih luas.

Sebagaimana tema masterclass hari itu, yakni “Empathy and Your Tools”,  para seniman diminta oleh Enni-Kukka untuk menyebutkan alat-alat yang dimilikinya dalam berempati. Salah seorang seniman di PBs menjawab kalau sebagai sutradara, ia memberi ruang yang nyaman dan aman bagi para aktor untuk menjalani perannya. Enni-Kukka merespons jawaban itu dengan pertanyaan, “bagaimana cara seorang sutradara berbicara kepada aktor mengenai hal itu?” Ia menjawab, “kalau dalam pembuatan film ada adegan yang terlalu intim, maka saya tanyakan kenyamanan aktor apabila adegan itu ditayangkan. Kalau tidak nyaman saya selaku sutradara akan mencari cara lain untuk menyampaikan adegan itu.” 

Seniman  program residensi baik yang berada di Inggris maupun Indonesia satu persatu menyampaikan jawaban dan asumsi yang beragam sehingga melahirkan dialog yang serius antara para seniman dengan Enni-Kukka. Lebih lanjut, para seniman belajar bersama untuk mewujudkan empati ke objek fisik, yaitu dengan membuat gambar berupa garis dan warna atau suara dan juga gerakan yang mengandung maksud tertentu. Para seniman kemudian saling menjelaskan maksud objek yang dibuat; Kenapa objek itu bisa memunculkan empat? Empati seperti apa yang muncul? Apa dampak yang akan dilakukan? Kidjing, misalnya, ia membuat suara-suara tertentu untuk menyampaikan maksud tertentu kepada orang lain. Mike, membangun komunikasi dengan tatapan ketika menari bersama. Baginya, tatapan antara satu penari dengan penari lain, akan membuatnya lebih bersemangat. Hal yang sama juga dilakukannya bersama pasangannya. 

Inti masterclass terakhir bertajuk “Empathy and Your Tools” adalah pentingnya alat-alat yang dimiliki dan dipergunakan masing-masing orang dalam komunikasi dan berempati. Workshop selama dua jam itu selesai pukul 20.40 WIB. Saat itu hujan membuat waktu jadi terasa lebih larut dari yang semestinya. 

 

BERSITATAP DENGAN LAYAR, BERSIPAUT DENGAN LATAR #2

Sebuah presentasi karya tentang suatu masa ketika realisme belum mati, dan tak bisa pula dikatakan hampir, tapi tubuh di panggung itu tidak sepenuhnya bisa menampilkan pola dan makna yang tetap. Sebuah perspektif dari enam seniman tentang empati yang disusun (untuk tidak menyebutnya disatukan) dalam suatu hirarki yang dengan kesadaran tiap-tiap seniman sengaja dikaburkan.    

Langit sore, Rabu (7/12), yang gerimis. Orang-orang tampak sibuk di panggung Gedung Diponegoro PSKBK. Lembar-lembar layar hitam dibentangkan. Dua buah proyektor dinyalakan. Kursi lipat merah marjan sudah ditata. Tiga buah kamera sudah di-setting Setara Media Kreasi. Jaringan internet Citranet sudah dipastikan bisa menjangkau seberang. Dan tentu saja, para seniman mulai merapikan tubuhnya sembari berbincang tentang bintang-bintang. Gladi resik segera digelar. 

Pukul 16.30 WIB gladi resik dimulai. Para seniman sudah bersiap di sisi panggung. Para menonton sudah memasuki ruang Zoom Meeting. Sebuah konstruksi sedang dibangun. Syska dari monitor memastikan bagaimana gambar akan tayang dan melintasi ruang Gedung Diponegoro PSBK. 

Ternyata yang ada di panggung berbeda dengan yang tampak di zoom, terjadi distorsi warna dan suara. Seakan-akan ada lapisan-lapisan yang menghalangi. Yang terdengar di zoom terlalu noise. Apakah masalah itu dapat diatasi?

Pukul 19.20 WIB, telapak tangan enam seniman Indonesia peserta proyek residensi pendek Empathy Spaces ditautkan: “Mongkleeee…!” 

Waktu menunjuk pukul 19.40 WIB ketika Jeannie Park berkata “selamat menyaksikan” kepada para penonton di PSBK dan di forum Zoom Meeting

Di panggung yang dingin tubuh kontemporer hadir. Tubuh yang sesungguhnya tak begitu menjelaskan bahwa mereka berada di Indonesia. Tapi apakah hal itu perlu untuk disampaikan kepada penonton UK? 

Enam seniman berkolaborasi menawarkan satu bentuk pertunjukan. Berbekal kesepakatan-kesepakatan atas gagasan-gagasan yang dihimpun selama dua belas pertemuan berproses bersama, panggung telah bisa menampilkan olahan tubuh empat penari berpadu suara-suara yang disusun Kidjing dan kolase interaksi tubuh yang diimajinasikan Syska.  

Eksplor tubuh atas realitas kini pada keseharian kehidupan orang-orang muncul di panggung. Berlandaskan pada tema besar empati, memori keseharian di tubuh setiap seniman dimanifestasikan di panggung. Itulah bekal yang selama ini diracik dalam diskusi dan workshop proses penciptaan. Tapi apakah pertunjukan ini adalah sebuah protes? Ataukah sebuah usaha menumbuhkan peristiwa di dunia digital? Apakah presentasi ini telah menghadirkan pemahaman tentang empati yang  dikuatkan pada diri masing-masing seniman selama workshop? Sebuah petualangan dalam dua belas hari telah dipresentasikan. Koneksi dan relasi, dua kata yang terbaca secara implisit dari tubuh dan gawai, dari suara dan warna, dari fakta dan realita kehidupan. Penggunaan gawai, video yang diperbesar dengan proyektor, seperti hendak menunjukkan piranti komunikasi hibrida di keseharian dalam kehidupan sekaligus juga mode yang digunakan dalam presentasi karya kepada seniman PBs di UK malam itu. 

Berapapun kadar keberhasilan sebuah pertunjukan dalam menyampaikan gagasan, sebuah tilikan tetap diperlukan. Melihat latar belakang para seniman peserta Residensi Pendek Empathy Spaces ini, keterbatasan waktu yang kurang dari tiga pekan semestinya bukanlah halangan. Sekali lagi perlu disampaikan bahwa para seniman dalam proyek ini adalah pribadi-pribadi yang memiliki bakat alam dan intelektualitas: itulah modal yang telah membuat mereka lolos seleksi panitia PSBK untuk mengikuti proyek yang didanai oleh program International Collaboration Grants – British Council itu. Maka, sebuah karya yang berangkat dari latar belakang masing-masing seniman, ditambah dengan pengetahuan baru dari para narasumber workshop oleh para pakar empati di Indonesia maupun pakar empati dari Inggris, seyogianya dapat diproses dan dipresentasikan dengan optimal. 

Tapi bagaimana penonton menatap presentasi hasil proses yang dijalani secara intens dengan semangat interaksi dan komunikasi antarbudaya berlandaskan praktik empati dalam berkesenian tersebut?

“Dari presentasi ini, hubungannya dengan empati, penonton dapat apa?” demikian pertanyaan Melati Suryodarmo yang lebih terasa sebagai kritik.

Melati Suryodarmo merasa capai setelah melihat presentasi sepanjang lebih kurang 20 menit itu. Ia merasa tidak ada ruang bernapas bagi penonton dalam karya tersebut. Ia juga mempersoalkan manajemen tim kerja sehingga tempo setiap momen dapat terorganisir. Penonton perlu diberi ruang supaya bisa berada di dalam pertunjukan. Ia merasa kalau tidak ada dialog untuk menciptakan, membangun, dan mengisi ruang penonton dalam presentasi itu. Untuk itu kesadaran atas ruang di panggung dan kepada penonton perlu ditata. Karena konteks karya adalah mempresentasikan empati, maka penonton juga perlu terlibat secara mental. Namun, sebagai penonton, Melati Suryodarmo justru merasa terpisah atas keberjarakan yang ditampilkan. Hasilnya adalah empati yang otoritatif pada penonton. 

Melati Suryodarmo juga menyampaikan apresiasinya melihat para seniman yang berproses telah menunjukkan kerja sama dengan bagus, tampak saling percaya, dan ada kenyamanan antara satu dengan yang lain. Ia menilai bahwa para seniman sudah bisa saling menyesuaikan, namun masih sulit untuk membuat pertunjukan bersama.  

Lalu bagaimana dengan pandangan seniman Inggris terhadap presentasi kedua seniman Indonesia itu? Kayle  Perry, co-director PBs berkesan pada adegan yang merepresentasikan orang-orang hari ini yang melakukan kerja-kerja sembari menatap telepon pintarnya. Hal tersebut juga menggambarkan bagaimana orang-orang disuapi bahkan dijejali dengan banyaknya informasi yang sesungguhnya tidak dibutuhkan. Ia memahami presentasi seniman Indonesia menitikberatkan pada isu empati dalam kompleksitas kehidupan di era digital kacau. 

Jemma mengapresiasi karya yang ditampilkan pada presentasi kedua malam itu yang merupakan perkembangan dari materi presentasi pertama. Ia melihat satu perjalanan karya. Pada presentasi pertama ia baru mencoba memahami peristiwa yang dihadirkan, sedangkan pada presentasi kedua ia merasa mengalami. Ia juga melihat pada presentasi kedua itu lebih banyak keterhubungan yang dimunculkan, sementara pada presentasi pertama yang banyak muncul adalah ekspresi individu.  

Sementara seniman yang lain ada yang menikmati adegan senter ponsel yang mengikuti anatomi tubuh penari. Tumpukan objek pada adegan tersebut memiliki daya tarik tersendiri mengingat di belakang para penari ada objek lain berupa video yang jadi satu kesatuan untuk disaksikan. Kontras yang diperlihatkan tertangkap sebagai representasi teknologi dan tubuh manusia hari ini. Di dalam realitas tubuh manusia berhadapan langsung dan sering kali terintimidasi teknologi. Adegan ponsel yang ditempelkan pada tubuh pasangan ditatap seperti pengalaman teknologi yang setiap hari tanpa disadari telah mengeksplorasi tubuh manusia. Ada pula yang merasakan kalau suara-suara yang dimainkan terasa seperti satu kehancuran umat manusia di suatu tempat. Namun, ketika Enji Sekar bertanya, “apakah penonton nyaman menyaksikan presentasi kedua dari seniman Indonesia?” ternyata ada yang merasa tidak nyaman mendengar suara-suara noise yang dihadirkan, meskipun lama-kelamaan bisa diikuti. Ketidaknyamanan yang lain adalah soal proyektor yang tidak bisa menampilkan gambar di akhir pertunjukan. 

Entah mengapa tampak dan terasa kalau performa para seniman pada malam itu tidak maksimal. Seperti ada bagian yang terlewatkan, kalau tidak sengaja dilewati. Sebagaimana diketahui, proyek ini jadi semacam kiat-kiat menumbuhkan kemanusiaan seniman dalam waktu singkat. Bahwa kesenimanan seseorang bukan semata-mata soal karya, tapi yang lebih penting dari itu adalah kemanusian untuk mewujudkan falsafah rasa, karsa, cipta, karya yang mendasari tindakan-tindakan seorang seniman. Rasa-rasanya memang tidak mudah untuk menerjemahkan dan menafsirkan kulit gejala tersebut menjadi suatu karya yang benar-benar sublim.

Poin penting dari karya seniman Indonesia yang patut direnungkan ialah ketika bicara politik identitas, candu teknologi, mental illness, gangguan biologis-sosiologis-ideologis, dengan cerdas menggunakan kata kunci anonimitas! Jika saja waktu lebih dari cukup, barangkali tanda-tanda yang ada dapat dibaca dengan saksama. Bekal dari para mentor dan narasumber, pengalaman di lapangan, juga proses kolaborasi yang terjadi, akan lebih bisa dialihmediakan dan diolah secara memadai. Misalnya tentang tubuh manusia yang sejatinya belum siap berhadapan dengan layar. Atau, kenyataan bahwa Twitter merupakan media sosial paling anonim dan paling nyampah. Atau, menghubungkan pengalaman para seniman di pasar tradisional dengan pengalaman bermedia sosial.

Dan, presentasi malam itu menyisakan migrain di kepala Syska! 

 

MENATAP LAYAR KACA, MENATAP LAYER BACA  

Kini giliran seniman Indonesia menyaksikan presentasi para seniman Inggris. Dua hari berturut-turut, Kamis, (8/12) dan Jumat (9/12), seniman Inggris membentang garis tentang empati yang dimanifestasikan dalam dua buah karya. 

Bagaimana workshop empati di PBs berlangsung dan seperti apa hasilnya? Melalui presentasi itulah dapat dilihat hasil kolaborasi seniman-seniman muda Inggris.

Jika seniman Indonesia menghadirkan empati anonimitas dengan abstrak, sebaliknya, seniman Inggris hadir dengan ketegasan identitas. Hal tersebut tampak bukan saja pada karya yang dipresentasikan, namun dari seniman peserta residensi Empathy Spaces yang beragam suku bangsanya. Tanpa bermaksud membeda-bedakan, pilihan PBs untuk mengusung isu empati pada keragaman identitas masyarakat UK menarik untuk dicermati. 

Menatap presentasi pertama seniman Inggris, penonton disuguhi sebuah karya yang merepresentasikan lapis-lapis problem empati dalam diri masing-masing pribadi seniman.  Tiga seniman menceritakan profilnya dengan gambar dan bahasa tubuh. Selain itu, perwujudan empati dalam diri sendiri ditampilkan dalam film. Tiga aktor yang sama menampilkan karakter dan segenap peristiwa yang dialaminya. Film juga menampilkan suasana kehidupan sosial di luar rumah, jalanan kota, taman. Adegan-demi adegan diiringi lagu tentang empati. Belum selesai sampai di situ, layar kembali menampakkan tiga seniman di studio. Menggunakan alat peraga, masing-masing seolah memberi tahu penonton apa saja ketakutannya. Ketika alunan musik suasana diperdengarkan, tiga seniman itu berbaring di lantai. Lalu layar jadi gelap. Ada sebuah kode di situ, satu arahan yang hanya disadari oleh Jeannie Park. Setelah Jeannie Park berbaring, para seniman Indonesia ikut berbaring merasakan suara dan suasana yang sama, hingga monitor kembali dinyalakan. Sebuah pertunjukan dengan nalar respons empati dari penonton pun berakhir. Kata dan pengalaman estetika presentasi seniman Inggris yang pertama itu kemudian didialogkan. Sebuah karya dengan pendekatan yang lain, yang beda dari karya seniman Indonesia. 

Dua hari berturut seniman Inggris mempresentasikan karyanya. Hal ini membuat seniman Indonesia bertanya-tanya, cukupkah waktu bagi seniman Inggris untuk mengembangkan karya presentasi pertama atau membuat karya baru yang beda? Waktu mereka untuk berproses kreatif jelas tidak lapang. Bahkan benar-benar hanya dua minggu. Kemungkinan-kemungkinan karya yang akan disajikan pada presentasi kedua itu pun memicu antusiasme para seniman Indonesia untuk tidak melewatkan kesempatan menyaksikan dan mempelajari pola seniman Inggris berkarya. 

Malam itu, pukul 19.15 WIB, seniman Indonesia sudah bergabung dengan forum Zoom Meeting PBs. Ada yang menarik. Karya yang dipresentasikan oleh para seniman Inggris pada presentasi kedua benar-benar lain dengan karya pada presentasi pertama. Pertunjukan itu mengajak penonton untuk berpikir ulang tentang jarak. Dan justru karena itulah, presentasi kedua terasa lebih dekat dan hidup dibanding presentasi pertama. “Perkenalan” tiga seniman pada presentasi pertama membuat penonton yang mengikuti kedua presentasi lebih mudah menangkap peristiwa yang direpresentasikan. Secara garis besar karya seniman inggris bisa dibilang rapi, baik secara konsep, estetika, maupun teknik. Pembagian tugas para seniman peserta residensi Empathy Spaces terasa tertata. Siapa yang jadi sutradara, pemain, art director, sinematografer, dan seluruh crew (yang tidak banyak) bisa berkolaborasi dalam workshop penciptaan karya sebagai aplikasi gagasan besar isu empati.   

 

HARI-HARI TERAKHIR DI GEDUNG LAYANG-LAYANG 

Sabtu, (10/12) jadi hari terakhir proyek Residensi Pendek Empathy Spaces. Workshop dan penciptaan karya yang mengaduk-aduk isu empati selama tiga pekan telah paripurna. Siulan suling Jenar Kidjing, kelakar Otniel Tasman, Syska La Veggie, Theodora Melsasail, Mike Hapsari, dan Enji Sekar diiringi lantunan suara Desy Thata dan Chacha Strawberry ―biduan-biduan OM Manhattan, akan hilang dari Gedung Layang-Layang. Kebersamaan yang erat dan kekeluargaan yang tumbuh antara para seniman dengan tim PSBK serta seluruh pihak yang mendukung jalannya program Empathy Spaces tampak dari kehangatan suasana penutupan siang itu.

Sebelumnya, pada Jumat (9/12), di bawah naungan pohon ketapang kencana Taman Kembang Setaman, masing-masing seniman menceritakan kesannya selama residensi dalam wawancara singkat dengan tim arsip-dokumentasi PSBK. Workshop secara intensif, fokus, menerapkan metode baru, dan menggali kesadaran konseptual tentang empati tentu saja jadi satu pengalaman penting dalam proses pembelajaran seni. Hal tersebut tampak dari tulisan para seniman dalam jurnal proses kreatif dan borang pascaresidensi. Sebagai sebuah proses pembelajaran seni, waktu yang ada terhitung sempit. Namun, sebagai sebuah proses kemanusiaan, ruang bagi isu empati sangat lapang. 

Dan pada hari terakhir itu, sembari menyantap pizza, sembari menatap masa depan dunia kesenian di Indonesia, Jeannie Park menyampaikan apresiasi kepada para seniman muda Indonesia yang telah merelakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengikuti residensi Empathy Spaces. Ia juga menyampaikan bahwa refleksi dan proyeksi keberlanjutan dari para seniman sangat dibutuhkan sebagai evaluasi. Apakah program yang berlangsung selama tiga pekan itu memberi pengaruh yang signifikan? 

Satu-persatu para seniman mengungkapkan perasaannya. Kidjing yang awalnya berpikir kalau empati tidak perlu dibahasakan dan diungkapkan karena di dalam kerja kesenian yang melibatkan banyak orang, praktik empati pasti dialami. Proses residensi Empathy Spaces mengubah pandangannya, bahwa praktik empati tidak sesederhana itu. Ia jadi tahu kalau empati memiliki sifat dan jenis tertentu, bahwa empati memiliki runtutan proses sebelum dan setelahnya, juga alat-alat yang digunakan seniman dalam berempati. Pengetahuan dan kisah-pengalaman berempati dari narasumber selain menguatkan kesadarannya juga menginspirasi untuk dilakukan dalam kerja kesenian di waktu-waktu yang akan datang. 

Enji sependapat dengan Kidjing, dan menambahkan bahwa ia mendapat banyak pengetahuan soal empati; mulai dari teori hingga realita di kehidupan, terutama dalam hal bersosial di era digital. Baginya, empati bukanlah perasaan, melainkan mindset. Ia tumbuh serupa bibit, dan oleh karenanya butuh dipupuk. 

Mike yang semula gojag-gajeg untuk mengikuti residensi ini, justru mendapat pengalaman residensi yang lain. Di sini ia mendapatkan pengalaman berproses yang bukan hanya soal teknis di atas panggung, tapi juga mendapat pengetahuan dan praktik empati. Ia menggarisbawahi kalau praktik empati mesti dilihat dari dalam. Untuk itu ia tilik kembali siapa Mike Hapsari sebagai pribadi dan sebagai seniman, kenapa memilih berkesenian, sudah sampai mana, dan keberadaanya di masyarakat untuk apa? Ia juga menggarisbawahi pentingnya kesadaran sebelum mencapai teknik berkesenian, sebab teknik bisa hadir sebagai dampak dari suatu kesadaran. 

Theo menyampaikan kalau tujuannya datang dari Maluku semata-mata untuk belajar. Ia merasa ada beban ketika bertemu orang baru, berada di tempat baru, dan di dalam proses yang baru. Oleh sebab itu, ia lebih membuka diri untuk menerima. Dari proses singkat namun intim dalam residensi Empathy Spaces, ia mendapat ilmu dan pengalaman empati dari narasumber dan juga bisa belajar langsung bersama rekan-rekan seniman untuk diaplikasikan pada komunitasnya di kampung halaman. 

Otniel yang dari awal punya masalah dengan komunikasi digital merasa kalau proses ini melengkapi pengalaman kolaborasinya selama ini. Melalui program ini, pertukaran pikiran yang telah membuat tubuhnya lelah dalam proses kolaborasi sebelumnya-sebelumnya seperti mendapat keseimbangan. Untuk itu, ilmu yang didapat dari residensi ini dengan kesadaran ataupun tanpa kesadaran bisa diaplikasikan dalam karya-karyanya, dan bisa berkembang ke hal-hal yang lebih luas lagi di luar bidang seni.   

Syska sebagai pribadi dan seniman yang semula tidak tahu tentang empati, merasa bahwa ia mendapat pengertian kalau ternyata empati itu sederhana. Ia kutip Charyna Ayu Rizkyanti, bahwa empati itu rasa dan nalar. Ia kemudian menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata sudah merupakan praktik empati.  Ia mendapat pelajaran bagaimana seorang seniman mesti bisa menempatkan diri. Dan dengan berkaca-kaca, Syska mengungkapkan kalau ia senang PSBK menempatkannya sesuai kapasitas sebagai seniman, bukan karena hubungannya dengan orang lain yang ada di sekitarnya.

Usai masing-masing seniman mengungkapkan kesan pengalamannya, Istifadah selaku programer PSBK, menyampaikan tilikan proses residensi Empathy Spaces 2022 secara kritis. Menurutnya, model dan modal antara Indonesia dan Inggris lain. Ia jumpai kecenderungan bahwa di Indonesia, seniman meletakkan karya sebagai target final, bukan proses. Dengan karakteristik demikian, residensi dengan tensi workshop tidak mudah dipraktikkan. Seniman indonesia terbiasa bonding, membangun rasa, dan mengalami langkah demi langkah hingga tuntas. Hal sebaliknya ditampilkan seniman PBs yang meletakkan program ini benar-benar sebagai workshop. Apa yang dihadirkan membuktikan kalau Indonesia punya cara lain untuk menatap proses kreatif dalam sebuah residensi. 

Ia mengungkapkan kalau tema empati menjadi pijakan di awal bagi PSBK untuk mengurasi siapa saja seniman yang bisa bergabung dalam proyek Empathy Spaces. Sementara dalam prosesnya, PSBK membiarkan para seniman dengan segala kemampuan dan sikapnya menjalani workshop secara natural. Respons masing-masing seniman sebenarnya penting untuk dilihat. Di situlah praktik empati berjalan dengan cara masing-masing, dengan negosiasi-negosiasi yang disepakati. Yang perlu jadi catatan, para seniman yang difasilitasi dalam proyek Empathy Spaces seyogianya bisa menempatkan diri, sebab boleh jadi kelak akan berada pada posisi selaku fasilitator yang berhadapan dengan banyak seniman dan segenap dinamikanya. 

 Meskipun demikian, baik seniman di PSBK maupun di PBs berhasil untuk menghadirkan karya berbasis kolaborasi dan partisipasi tanpa intervensi penyelenggara di konteks artistik. Tapi, apakah itu berarti karya yang tercipta merupakan implementasi sebuah kolaborasi yang setara dalam praktik empati? Pertanyaan itu tak segera terjawab.

Selanjutnya, karya hasil residensi Empathy Spaces itu akan diputar untuk Komite Penonton. Menanggapi hal tersebut, para seniman bersepakat agar PSBK  menyajikan karya dengan apa adanya. Respons dari Komite Penonton juga penting untuk diakses agar bisa jadi timbangan bagi para seniman peserta Residensi Empathy Spaces.  

Sebagai sebuah catatan akhir, atau sebagai akhir sebuah catatan, ada satu kecenderungan yang agaknya perlu untuk dicantumkan di sini. Dari residensi Empathy Spaces yang berlangsung selama tiga pekan di Indonesia, tampak bahwa para seniman memperoleh bekal yang banyak untuk dipraktikkan dalam hidup maupun dalam karya-karyanya. Hal itu tercermin pada uraian tulisan para seniman tentang pemahamannya terhadap empati sebelum dan sesudah mengikuti workshop. Kalau boleh jujur, pemahaman masing-masing seniman itu  akan lebih menarik kalau diaplikasikan dalam karya kolaborasi pada presentasi pertama maupun kedua. Sebagaimana telah dipahami bersama, bahwa karya seni adalah tools yang efektif untuk menyampaikan empati.

Pada akhirnya, baik PSBK maupun PBs jadi ruang yang aman dan nyaman bagi para seniman peserta residensi Empathy Spaces. Dalam proses tersebut, sebuah praktik empati, sebuah kolaborasi, sebuah peristiwa-karya seni, jadi perwujudan dari kesadaran untuk sepadan. Dalam hal ini, PSBK telah menunjukkan keberadaannya sebagai laboratorium tempat menempa seniman-seniman muda dari seluruh Nusantara, sebagaimana namanya: padepokan!

 

Bantul, 31 Desember 2022

 

Latief S. Nugraha, lulusan program Pascasarjana Ilmu Sastra UGM, carik Studio Pertunjukan Sastra, redaktur majalah Matajendela TBY, dan pengelola kanal YouTube Creatief/Gawe ArtsSpace.

SHARE

subscribe icon
Stay connected with PSBK.